Eko Cahyono, Oase untuk Literasi di Malang Sumber foto: Instagram Eko Cahyono |
Eko tampak menata buku-buku koleksi pribadinya, beberapa ada yang sudah
lusuh dan robek di beberapa bagiannya. Baginya, buku adalah sahabat baik yang
tak hanya ingin ia kenal dan akrabi seorang diri, makanya ia membawa buku-buku
itu berkeliling untuk mengenalkannya pada anak-anak di Malang.
Eko mempunyai semangat besar untuk membawa perubahan masyarakat ke arah
yang positif dengan mengabdikan hidupnya di dunia pendidikan melalui perpustakaan
keliling ‘Pustaka Anak Bangsa’ yang ia dirikan.
Usahanya untuk mengenalkan buku-buku pada anak-anak di Kabupaten Malang
tak selalu berjalan mulus, ada kalanya banyak halangan dan rintangan yang harus
ia hadapi. Apalagi ia menjalankan ‘Pustaka Anak Bangsa’ dengan sukarela dan
menggunakan uang pribadinya untuk membiayai perpustakaan tersebut.
Eko Cahyono sudah menjalankan layanan perpustakaan keliling selama
belasan tahun dan telah menjangkau seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten
Malang. Saat ini sudah ada 26 perpustakaan di 35 desa di 7 kecamatan
se-Kabupaten Malang yang menjadi perpanjangan tangan dari Pustaka Anak Bangsa
di mana perpustakaan ini buka selama 24 jam setiap harinya.
Dari Pustaka Anak Bangsa untuk Indonesia
Pada mulanya Eko Cahyono melihat masih banyak anak-anak yang tidak
sekolah, maka dari itu ia bersemangat untuk mendirikan Pustaka Anak Bangsa agar
bisa mengenalkan anak-anak tersebut pada buku sekaligus bisa mengajarkan mereka
membaca dan menulis. Eko Cahyono melihat anak-anak yang tidak bisa melanjutkan
sekolah butuh akses pendidikan agar mereka memiliki kemampuan untuk bergerak
maju.
Perpustakaan keliling milik Eko Cahyono ini menghadirkan dampak nyata
yang positif di berbagai komunitas, sehingga anak-anak yang awalnya tidak bersekolah,
akhirnya bisa mendapatkan akses ke buku-buku yang mendidik serta menginspirasi.
Anak-anak tersebut kini bisa tumbuh dengan lebih percaya diri, apalagi
menurut Eko, perpustakaan keliling bukan lagi tentang membawa buku dari satu
desa ke desa lain, dari satu kampung ke kampung lain. Melainkan bagaimana buku
mampu menciptakan lingkungan yang mendukung akses pertumbuhan dan pembelajaran.
Menurut Eko Cahyono, anak-anak itu bukannya tidak suka membaca, akan
tetapi alasan di balik adanya jarak antara anak-anak dengan buku adalah karena
ketiadaan buku di dekat mereka.
Jatuh Bangun Mengembangkan Pustaka Anak Bangsa
Meskipun harus berkeliling ke banyak tempat, namun semangat dan tekad
Eko Cahyono ini layak mendapat apresiasi setinggi-tingginya, karena di zaman
sekarang ini tak banyak orang yang mau bergerak untuk kemaslahatan masyarakat,
khususnya di bidang literasi.
Dulu, sebelum berkeliling, Eko Cahyono membuka perpustakaannya di teras
rumahnya, dan menariknya, Eko melakukan hal ini sejak ia duduk di bangku SMA.
Ia menggelar majalah-majalah bekas yang bisa dibaca oleh orang-orang, hingga
banyak tetangga yang mengira jika adalah penjual majalah.
Hingga setelah lulus SMA, Eko mulai mengenal buku, ia pun sering datang
ke toko buku dan mulai mengenal dunia perbukuan. Di toko buku yang ia datangi,
ia sering melihat dan memperhatikan orang-orang yang membeli banyak buku. Eko
berpikir kalau orang-orang yang membeli banyak buku pastilah memiliki banyak
buku di rumahnya. Eko pun nekat mengajak berkelan orang-orang tersebut dan
menyampaikan tujuannya untuk meminta buku. Sejak saat itulah ia meminta buku
secra door to door.
Untuk mewujudkan mimpi Eko dalam pemberantasa buta huruf, Eko harus
berkeliling dan berhenti di pos ojek, bengkel, rental komputer, salon sebagai
tempat pemberhentian perpustakaannya. Hal yang selalu dilakukan Eko selama
belasan tahun itu tak membuat ia patah semangat.
Bahkan ketika Eko Cahyono dicap pengangguran oleh kedua orang tuanya
karena pekerjaannya yang tidak jelas, ia tetap melaju dan tidak menyerah. Ia
bekerja lebih keras untuk mencari uang tambahan hingga kemudian ia bisa
mengontrak rumah untuk dijadikan perpustakaan anak bangsa.
Di tempat tersebut, Eko Cahyono mengajak anak-anak untuk berkegiatan
positif, tidak hanya membaca buku saja, tapi juga ada melukis di kanvas,
praktek memasak, kursus komputer, menonton film bersama, menjahit, menanam
beragam jenis tanaman obat, serta diskusi rutin setiap malam minggu.
Eko juga rela meminta sumbangan buku-buku bekas dari pintu ke pintu
untuk bisa ditempatkan di perpustakaannya, dan ia tidak malu melakukannya.
Bicara tentang buku-buku yang hilang, dulu, ia sempat berpikiran kalau ia akan
mengalami kerugian ketika bukunya yang dipinjam tidak dikembalikan, namun ia kemudian
menyadari bahwa buku yang tidak dikembalikan tersebut masih memiliki manfaat
untuk orang lain.
Kisah pilu lainnya adalah ketika Eko Cahyono hampir menjual ginjalnya karena
tidak memiliki uang untuk membayar kontrakan. Eko Cahyono pun merasakan bagaimana
ia harus pindah kontrakan belasan kali. Hingga akhirnya Eko bisa membeli tanah
sendiri dan membangunnya di tahun 2011. Tentunya sebuah perjalanan yang sangat
tangguh, kan?
Eko Cahyono mengungkapkan bahwa, selama kebijakan perbukuan tidak
berpihak kepada rakyat, maka tingkat literasi anak bangsa juga akan
begitu-begitu saja alias jalan di tempat.
Harapan Eko Cahyono
Eko Cahyono memiliki harapan besar, bahwa di masa yang akan datang,
perpustakaan yang ia dirikan dapat bertransformasi menjadi institusi yang
menyelenggarakan program Kejar Paket B serta C bagi anak-anak yang tidak dapat
melanjutkan pendidikannya.
Berkat dedikasi dan kerja kerasnya tersebut, Eko Cahyono sudah membantu
mewujudkan mimpi anak-anak di daerah terpencil. Ia juga menjadi bukti bahwa
selama semangat itu masih ada, tidak ada yang tidak mungkin untuk dilakukan dan
diwujudkan. Maka tidaklah heran jika Eko Cahyono mendapatkan apresiasi SATU
Indonesia Award atas jasanya di bidang literasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar