Pernahkah ketika mendengar suatu lagu, kita teringat akan satu kejadian? Bahkan semua panca indra kita turut bereaksi. Bau dalam kejadian itu tercium lagi, perasaannya terasa lagi, gigil udaranya, bahkan apa yang terlihat seolah muncul di pelupuk mata.
Pernahkah merasa terhanyut ketika menonton suatu film oleh rangkaian musiknya? Nuansa penyiksaan menjadi lebih meneror saat memakai musik gembira, atau adegan perpisahan menjadi semakin mengharu biru saat lamat-lamat terdengar musik sedih. Itulah keajaiban musik.
Musik dan lirik adalah dua hal berbeda. Ketika dikawinkan, keduanya saling melengkapi untuk menyampaikan kesatuan pesan. Pesan yang terkadang dipakai untuk kepentingan yang bahkan jauh dari ‘roh’ tujuan diciptakannya. Misalnya, bagaimana lagu tradisional ‘Boneka Abdi’ yang dulu dipakai untuk meninabobokan anak-anak, menjadi lagu yang membuat masyarakat takut akibat dipakai menakuti dalam film horror. Namun, bagaimanapun suatu musik dipergunakan, sesungguhnya ia telah menjadi sebuah media untuk mengekalkan kebudayaan. Merekam jejak seluruh lini kehidupan, baik itu secara sosial, politik, ekonomi, bahkan teknologi. Artinya, bukan hanya kebudayaan tradisional, tetapi setiap fase, termasuk budaya urban.
Alat musik gamelan (sumber gambar gramedia dot com) |
Musik Sebagai Media Pengekalan Kebudayaan
Pada tanggal 27 Januari kemarin, TwiVers mengikuti acara IG live Bincang MIMDAN seri ke-3 yang diselenggarakan PANDI lewat Program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN). Acara tersebut mengangkat topik ‘Belajar Budaya Lewat Musik’ yang menghadirkan Joko Elisanto—seorang musikus dan pencipta lagu. Obrolan mengalir dari pembahasan mengenai apa itu budaya. Mas Joko mengatakan bahwa budaya memiliki kompleksitas tinggi, sehingga agar minat generasi muda terhadap budaya tradisional meningkat, dibutuhkan cara yang sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya lewat musik. Itulah salah satu pilar yang membuatnya mendirikan kelompok music Genk Kobra yang bergerak dalam pelestarian kebudayaan lokal Jawa. Mas Joko percaya, keuniversalan musik dapat melintasi ruang, waktu, dan RAS.
TwiVers sepakat bahwa melestarikan kearifan lokal haruslah selaras dengan perkembangan zaman. Ia harus disampaikan dengan cara-cara yang menarik minat masyarakat agar menghasilkan regenerasi. Kebudayaan Nusantara sendiri dikategorikan dinamisme, berarti dinamis tanpa menghilangkan nilai-nilai kearifan leluhurnya.
Musik tradisional merupakan hasil cita, cipta, karsa, rasa, dan karya leluhur Nusantara. Oleh karena itu segala unsurnya memiliki makna filosofis dan fungsional. Mengapa tangga nadanya pelog dan slendro? Mengapa gamelan terbuat dari bahan kuningan? Atau, mengapa ada alat musik goong yang dibunyikan di waktu tertentu? Tentunya, selain secara fungsional menimbulkan bunyi yang harmoni, tetapi ada hal filosofis yang terkandung di dalamnya.
Suatu kali, dalam sebuah perhelatan, seorang anak kecil yang baru pertama kali mendengar musik Tarwangsa, menangis terharu tanpa mengetahui apa penyebabnya. Bocah itu bukan takut mendengarnya, tetapi dia merasakan sebuah keharuan. Begitulah bagaimana musik dapat mengekalkan kebudayaan. Cita, cipta, karsa, rasa, dan karya para leluhurnya yang tertuang dalam Tarawangsa sampai ke dalam diri bocah itu.
Musik menimbulkan vibrasi yang mempengaruhi gelombang otak. Oleh karena itu, musik dipakai juga sebagai media penyembuh. TwiVers sendiri, apabila sedang membutuhkan suatu semangat dalam mengerjakan sesuatu, misalnya menulis, sering mencari musik yang selaras dengan pesan yang akan dituliskan. Kemudian mengenai lirik, di masyarakat Sunda misalnya, disebut rumpaka. Ada juga rajah dan lainnya. Isinya adalah pesan-pesan leluhur yang disampaikan secara tersirat dan tersurat. Begitulah bagaimana leluhur Nusantara menyampaikan wawasan dan kebijakan lewat musik dan lirik.
Mas Joko berkali-kali menyatakan bahwa sebaik-baiknya menyampaikan kearifan lokal dengan cara santun. Kalimat itu membuat TwiVers teringat akan saripati ajaran leluhur Nusantara, yaitu perbuatan (laku lampah). Bahwa puncak kebudayaan terpancar dari sikap dan perilaku. TwiVers berharap dengan cara-cara santun inilah masyarakat tergugah untuk menyadari bahwa stigma dan paradigma negatif terhadap kebudayaan leluhur adalah tidak benar adanya. Sehingga generasi kini dan nanti dapat kembali ke akarnya tanpa merasa primitif. Lewat musik Nusantara dan bahasanya yang kaya justru merupakan bukti tak terbantahkan betapa tingginya kebudayaan leluhur kita. Bahkan, di relief-relief Candi Borobudur yang disebut sebagai salah satu keajaiban dunia, kita dapat melihat banyak sekali alat musik tradisional.
Pada saat ini, banyak seniman menyampaikan kearifan lokal dengan mengawinkan musik tradisional dan musik modern hingga menghasilkan musik kontemporer. Salah satunya Mas Joko dengan Genk Kobra-nya. Semoga, lewat musik, generasi muda tergugah untuk mendalami kebudayaan Nusantara. Hingga kita akan melihat pemandangan dimana kolaborasi antar generasi menjadi hal lumrah untuk menghidupkan spirit kebijakan dan kebajikan kearifan lokal.