Adik Kembarku
Karya Astuti Parengkuh
Kamu pernah mengalami ribetnya punya adik kembar? Aku
kini tengah merasakannya. Kelucuan-kelucuan yang ditampilkan keduanya sebanding
dengan kerepotan-kerepotan yang ditimbulkan oleh mereka. Okay, katakanlah aku
sebagai kakak yang rese, ceriwis atau mau menang sendiri. Begitulah keadaan
yang sebenarnya.
Sejak
awal, Mama membiasakan tidak membuat suatu apa pun barang atau benda yang
dipakai oleh keduanya sama, seragam. Bahkan tempat tidur mereka dipisah, meski
masih satu kamar.
“Kak
Mae, bantuin Vena jepitin rambut dong,” pagi ini Vena mulai bertingkah. Dia seperti
sengaja mengganggu aktivitasku yang hendak segera berangkat sekolah.
“Oh,
tidak! Minta tolong saja sama Mama. Kakak tidak bisa meladeni kamu,” jawabku
singkat.
Vena
bukannya berpaling, dia malah memelukku.
“Kali
ini saja ya, Kak Mae. Besok Vena akan belajar menyisir dan pakai pita serta
jepit rambut sendiri,” rengek Vena.
“Potong
saja rambutmu seperti punya Veni, tuh. Dia nggak kerepotan setiap kali merapikan,”
jawabku kesal.
“Aku
suka dengan rambut indahku,” jawab Vena sambil mencubit pipiku. Ah, anak itu
selalu saja usil. Bukan kali ini saja saat dia meminta tolong. Bahkan Vena suka
menggoda teman-temanku saat bertandang ke rumah .
“Enak
ya, jadi anak SMP. Boleh punya teman cowok bertandang ke rumah,” Vena usil lagi
ketika teman-temanku belajar kelompok di rumah.
“Anak
kelas 1 SD juga boleh kok, bermain sama teman-teman cowoknya di rumah. Tuh,
lihat si Veni lebih asyik bermain petak umpet sama tetangga sebelah daripada
kamu yang suka ngerusuh,” jawabku
santai.
“Aiih,
Kak Mae selalu membandingkan aku dengan Veni,” Vena berlalu, lagi-lagi sambil
mencubit pipiku.
***
Hari itu
aku menerima kabar duka saat pulang sekolah. Si Kembar terserempet motor ketika
berangkat sekolah pagi harinya. Seperti biasa mereka selalu berangkat bersama
ke sekolah yang berjarak dua ratusan meter dari rumah. Mama jarang mengantar
mereka naik motor, kecuali jika kesiangan. Vena dan Veni terbiasa berjalan kaki
menyusuri jalan dan taman bunga sebelum menuju halaman sekolah.
Aku
ingat, di pagi itu, lagi-lagi Vena menggangguku dengan minta tolong dipasangkan
pita rambutnya yang baru. Aku jadi curiga, jangan-jangan kerepotan dia hanya
ingin memamerkan saja barang-barang baru kesukaannya. Sekali lagi, aku menolak
membantunya dan Vena berlari ke arah Mama. Mama yang akhirnya menguncir rambut
panjangnya.
“Vena
lekas sembuh ya,” kataku saat menjenguknya di klinik 24 jam yang lokasinya satu
komplek perumahan.
“Asal
Kakak berjanji, bantuin aku merapikan rambut setiap pagi,” kata Vena. Kulirik
Veni yang menangis di pangkuan Mama.
“Ya
ampun! Kamu masih saja suka menjahili Kakak,” kataku sambil membelai rambutnya
yang panjang sebahu. Veni yang masih menggelayut pada Mama aku cium pipinya
yang sama gembul denganku.
“Kalian
ini lho, besok lagi kalau jalan hati-hati,” kataku kemudian.
Kecelakaan
kecil itu hanya sebagian kisah mereka berdua. Suatu kali, aku benar-benar
dibuat pusing tujuh keliling tatkala sebuah kejadian menggemparkan menimpa keluarga
kami.
Vena dan
Veni bermain masak-memasak dan menggunakan minyak dan api sungguhan di halaman
belakang rumah. Peristiwa itu tanpa sepengetahuan Mama yang lagi sibuk di
dapur. Vena terkena tumpahan minyak di rambut, lalu Veni bermain api, dan
menyulut rambut Vena yang panjang.
Untung
Vena tak mengalami luka yang berarti. Namun dia harus merelakan rambut indahnya
dipangkas pendek.
“Cepat,
lekas panjangin lagi rambutmu ya, Dek. Kakak ingin bantuin kamu menyisir dan
memasang pita, setiap kali kamu akan berangkat sekolah,”
Sekarang
tinggal penyesalanku sebagai kakak. Mengapa dulu ketika Vena meminta tolong aku
merapikan rambut panjangnya selalu kutolak. Untung Vena menerima keadaan
dirinya. Dia lebih kuat dan tidak cengeng seperti Veni. Memang, Vena bukan
Veni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar