Selasa, 28 Juni 2016

[Karya Twinners] Cerita Mini "Adik Kembarku" Karya Astuti Parengkuh




 Adik Kembarku
Karya Astuti Parengkuh

Kamu pernah mengalami ribetnya punya adik kembar? Aku kini tengah merasakannya. Kelucuan-kelucuan yang ditampilkan keduanya sebanding dengan kerepotan-kerepotan yang ditimbulkan oleh mereka. Okay, katakanlah aku sebagai kakak yang rese, ceriwis atau mau menang sendiri. Begitulah keadaan yang sebenarnya.
            Sejak awal, Mama membiasakan tidak membuat suatu apa pun barang atau benda yang dipakai oleh keduanya sama, seragam. Bahkan tempat tidur mereka dipisah, meski masih satu kamar.
            “Kak Mae, bantuin Vena jepitin rambut dong,” pagi ini Vena mulai bertingkah. Dia seperti sengaja mengganggu aktivitasku yang hendak segera berangkat sekolah.
            “Oh, tidak! Minta tolong saja sama Mama. Kakak tidak bisa meladeni kamu,” jawabku singkat.
            Vena bukannya berpaling, dia malah memelukku.
            “Kali ini saja ya, Kak Mae. Besok Vena akan belajar menyisir dan pakai pita serta jepit rambut sendiri,” rengek Vena.
            “Potong saja rambutmu seperti punya Veni, tuh. Dia nggak kerepotan setiap kali merapikan,” jawabku kesal.
            “Aku suka dengan rambut indahku,” jawab Vena sambil mencubit pipiku. Ah, anak itu selalu saja usil. Bukan kali ini saja saat dia meminta tolong. Bahkan Vena suka menggoda teman-temanku saat bertandang ke rumah .
            “Enak ya, jadi anak SMP. Boleh punya teman cowok bertandang ke rumah,” Vena usil lagi ketika teman-temanku belajar kelompok di rumah.
            “Anak kelas 1 SD juga boleh kok, bermain sama teman-teman cowoknya di rumah. Tuh, lihat si Veni lebih asyik bermain petak umpet sama tetangga sebelah daripada kamu yang suka ngerusuh,” jawabku santai.
            “Aiih, Kak Mae selalu membandingkan aku dengan Veni,” Vena berlalu, lagi-lagi sambil mencubit pipiku.
***
            Hari itu aku menerima kabar duka saat pulang sekolah. Si Kembar terserempet motor ketika berangkat sekolah pagi harinya. Seperti biasa mereka selalu berangkat bersama ke sekolah yang berjarak dua ratusan meter dari rumah. Mama jarang mengantar mereka naik motor, kecuali jika kesiangan. Vena dan Veni terbiasa berjalan kaki menyusuri jalan dan taman bunga sebelum menuju halaman sekolah.
            Aku ingat, di pagi itu, lagi-lagi Vena menggangguku dengan minta tolong dipasangkan pita rambutnya yang baru. Aku jadi curiga, jangan-jangan kerepotan dia hanya ingin memamerkan saja barang-barang baru kesukaannya. Sekali lagi, aku menolak membantunya dan Vena berlari ke arah Mama. Mama yang akhirnya menguncir rambut panjangnya.
            “Vena lekas sembuh ya,” kataku saat menjenguknya di klinik 24 jam yang lokasinya satu komplek perumahan.
            “Asal Kakak berjanji, bantuin aku merapikan rambut setiap pagi,” kata Vena. Kulirik Veni yang menangis di pangkuan Mama.
            “Ya ampun! Kamu masih saja suka menjahili Kakak,” kataku sambil membelai rambutnya yang panjang sebahu. Veni yang masih menggelayut pada Mama aku cium pipinya yang sama gembul denganku.
            “Kalian ini lho, besok lagi kalau jalan hati-hati,” kataku kemudian.
            Kecelakaan kecil itu hanya sebagian kisah mereka berdua. Suatu kali, aku benar-benar dibuat pusing tujuh keliling tatkala sebuah kejadian menggemparkan menimpa keluarga kami.
            Vena dan Veni bermain masak-memasak dan menggunakan minyak dan api sungguhan di halaman belakang rumah. Peristiwa itu tanpa sepengetahuan Mama yang lagi sibuk di dapur. Vena terkena tumpahan minyak di rambut, lalu Veni bermain api, dan menyulut rambut Vena yang panjang.
            Untung Vena tak mengalami luka yang berarti. Namun dia harus merelakan rambut indahnya dipangkas pendek.
            “Cepat, lekas panjangin lagi rambutmu ya, Dek. Kakak ingin bantuin kamu menyisir dan memasang pita, setiap kali kamu akan berangkat sekolah,”
            Sekarang tinggal penyesalanku sebagai kakak. Mengapa dulu ketika Vena meminta tolong aku merapikan rambut panjangnya selalu kutolak. Untung Vena menerima keadaan dirinya. Dia lebih kuat dan tidak cengeng seperti Veni. Memang, Vena bukan Veni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar