Jumat, 18 Desember 2015

[karya Twinners] Sharing Novel "Home – Saling Menjauh Tapi Saling Merindu"


Sharing Novel "Home – Saling Menjauh Tapi Saling Merindu" Oleh Jiah Al Jafara

Judul                           : Home – Saling Menjauh Tapi Saling Merindu

Penulis                         : Iva Afianti

Editor                          : Arini Hidajati

Tata Sampul                :  Agus

Tata Isi                        : Atika

Cetakan Pertama         : September, 2013

Penerbit                       : DIVA Press
Halaman                      : 388
Bintang                       : 2


“Menjual rumah ini bukan hanya menjual sebuah bangunan fisik. Bagi saya, rumah ini adalah kenangan, sejarah, cinta, dan ... kehidupan itu sendiri.” Hal 9

Apa yang kamu pikirkan ketika orangtuamu--mertua--ingin menjual rumahnya? Rumah yang menjadi saksi masa kecil suamimu, peninggalan masa lalu, dan tempat berkumpul semua anggota keluarga. Apa yang akan kamu lakukan?
Truly, menantu sulung dari Kurt dan Beatrice pusing tujuh keliling saat mendapat kabar bahwa Papa mertuanya akan menjual rumah. Bukan masalah akan tinggal di mana kedua orangtuanya, tapi mengapa rumah persinggahan, tempat musyawarah semua anggota keluarga dijual? Apa hanya karena kesepian semenjak ketujuh anaknya menikah? Atau ada hal lain yang disembunyikan Papa mertuanya?
Dari segi tema, saya suka. Bukan hanya tentang rumah secara fisik, tapi apa yang terjadi di dalamnya. Sedikit baper karena saya membayangkan bagaimana orangtua saya nanti ketika semua anaknya sudah menikah dan sibuk dengan keluarga serta urusan masing-masing.
Alur yang digunakan maju, lalu mundur saling berseling mengisi jalan cerita novel ini. Mulai dari masa lalu pertemuan Kurt dan Bea hingga mereka beranak-pinak. Lalu maju ke  potongan kisah ketujuh anak mereka beserta sepupu yang banyak. Lalu masa sekarang di mana mereka merasa dekat tapi saling jauh.
Karakter yang paling banyak bermain ya si Truly. Walaupun hanya seorang mantu, ternyata dengan sifatnya yang supel mampu membuat kedua mertuanya lebih terbuka. Selain itu, karena dialah kecanggungan dari generasi tua dan muda menjadi cair.
Sayangnya, pergantian PoV kurang pas untuk menguatkan cerita. Saya paham, cuma kurang pas saja. PoV berubah-ubah dari Bea, Truly, Wisnu hingga Kurt. Saya kurang merasakan perbedaan karakter ketika PoV masing-masing.
Karena PoV juga, pergantian saya, aku, gue ada yang typo. Ada juga bahasa asing dan Jawa yang tidak ditulis miring. Untuk klimaks, saya sebenarnya berharap lebih. Sayangnya terasa datar walaupun masalah utama terselesaikan dengan baik. Dan ending? Hem, saya bisa nebak sih.
Terlepas dari kekurangannya, novel ini bisa jadi warning untuk diri saya sendiri. Orangtua itu rindu diperhatikan anak-anaknya.
“Tolong sediakan cinta, lapangkan hati, untuk mendengarkan apa yang ingin orangtua Kalian keluhkan. Mungkin menyebalkan. Tapi Kalian akan merasa, bahwa itulah bentuk rasa cinta kami pada Kalian, selain dalam bentuk doa.” Hal 337

Dan sosok Kurt, dia memang sosok suami-able dan Papa yang patut dibanggakan terlepas dari sifat otoriternya. Dan yang terakhir, rumah itu tak perlu besar, yang penting ada banyak cinta di dalamnya. 
“Rumah itu... adalah tempat kita pulang. Rumah hati, rumah cinta....” Hal 317

*Sumber tulisan di sini





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar