Sharing Novel "Home – Saling Menjauh Tapi Saling Merindu" Oleh Jiah Al Jafara
Judul :
Home – Saling Menjauh Tapi Saling Merindu
Penulis : Iva Afianti
Editor : Arini Hidajati
Tata
Sampul : Agus
Tata
Isi : Atika
Cetakan
Pertama : September, 2013
Penerbit : DIVA Press
Halaman : 388
Bintang : 2
“Menjual rumah
ini bukan hanya menjual sebuah bangunan fisik. Bagi saya, rumah ini adalah
kenangan, sejarah, cinta, dan ... kehidupan itu sendiri.” Hal 9
Apa
yang kamu pikirkan ketika orangtuamu--mertua--ingin menjual rumahnya? Rumah yang
menjadi saksi masa kecil suamimu, peninggalan masa lalu, dan tempat berkumpul
semua anggota keluarga. Apa yang akan kamu lakukan?
Truly,
menantu sulung dari Kurt dan Beatrice pusing tujuh keliling saat mendapat kabar
bahwa Papa mertuanya akan menjual rumah. Bukan masalah akan tinggal di mana
kedua orangtuanya, tapi mengapa rumah persinggahan, tempat musyawarah semua
anggota keluarga dijual? Apa hanya karena kesepian semenjak ketujuh anaknya
menikah? Atau ada hal lain yang disembunyikan Papa mertuanya?
Dari
segi tema, saya suka. Bukan hanya tentang rumah secara fisik, tapi apa yang
terjadi di dalamnya. Sedikit baper karena saya membayangkan bagaimana orangtua
saya nanti ketika semua anaknya sudah menikah dan sibuk dengan keluarga serta
urusan masing-masing.
Alur
yang digunakan maju, lalu mundur saling berseling mengisi jalan cerita novel
ini. Mulai dari masa lalu pertemuan Kurt dan Bea hingga mereka beranak-pinak.
Lalu maju ke potongan kisah ketujuh anak
mereka beserta sepupu yang banyak. Lalu masa sekarang di mana mereka merasa
dekat tapi saling jauh.
Karakter
yang paling banyak bermain ya si Truly. Walaupun hanya seorang mantu, ternyata
dengan sifatnya yang supel mampu membuat kedua mertuanya lebih terbuka. Selain
itu, karena dialah kecanggungan dari generasi tua dan muda menjadi cair.
Sayangnya,
pergantian PoV kurang pas untuk menguatkan cerita. Saya paham, cuma kurang pas
saja. PoV berubah-ubah dari Bea, Truly, Wisnu hingga Kurt. Saya kurang
merasakan perbedaan karakter ketika PoV masing-masing.
Karena
PoV juga, pergantian saya, aku, gue ada yang typo. Ada juga bahasa asing dan
Jawa yang tidak ditulis miring. Untuk klimaks, saya sebenarnya berharap lebih.
Sayangnya terasa datar walaupun masalah utama terselesaikan dengan baik. Dan ending? Hem, saya bisa nebak sih.
Terlepas
dari kekurangannya, novel ini bisa jadi warning
untuk diri saya sendiri. Orangtua itu rindu diperhatikan anak-anaknya.
“Tolong sediakan
cinta, lapangkan hati, untuk mendengarkan apa yang ingin orangtua Kalian
keluhkan. Mungkin menyebalkan. Tapi Kalian akan merasa, bahwa itulah bentuk
rasa cinta kami pada Kalian, selain dalam bentuk doa.” Hal 337
Dan
sosok Kurt, dia memang sosok suami-able dan Papa yang patut dibanggakan terlepas
dari sifat otoriternya. Dan yang terakhir, rumah itu tak perlu besar, yang
penting ada banyak cinta di dalamnya.
“Rumah itu... adalah tempat kita pulang.
Rumah hati, rumah cinta....” Hal 317
*Sumber tulisan di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar