Cahaya
Ilahi
Oleh: Hastira Soekardi
Malam itu aku terbangun dengan badan
gemetar. Rasanya tubuhku bergetar kuat dan aku tak kuat menahan gemetar
tubuhku. Aku baru saja terbangun dari mimpi yang baru saja datang. Aku tengok
jam masih jam dua malam. Tubuhku menggigil kembali, wajah bapak begitu jelas
dalam mimpiku. Bapak datang untuk berpamitan. Bapak menyentuh kakiku dan
berusaha membangunkanku. Kejadian yang seperti nyata ada di hadapanku. Aku takut!!!
“Dara, tangi... tangi,” tukas Bapak membangunkanku. Aku terbelalak saat aku melihat Bapak sudah ada di
pinggiran tempat tidurku. Aku kucek mataku, Bapak ada di sana dan tersenyum
padaku. Aku ternganga. Bapak lagi berbaring di rumah sakit, tapi mengapa dia
ada di sini bersamaku. Kembali aku mengucek mataku. Senyum Bapak tertuju
padaku.
“Dara, titip mamamu ya. Jaga
baik-baik.” Belum aku sempat menganggukkan kepalaku, tiba-tiba Bapak hilang dari
pandanganku. Kini tubuhku menggigil ketakutan dan berulang kali kukucek
mataku dan Bapak benar-benar sudah tak ada lagi di hadapanku. Semalaman aku
duduk dan tak sanggup memejamkan mataku. Tubuhku terus menggigil ketakutan. Dan
tiba-tiba terdengar suara dering telepon. Aku bergegas mengangkat telepon.
Suara adikku.
“Bapak koma.” Suara adikku terasa
menusuk gendang telingaku. Sedikit bekabut mataku dan kuusap perlahan agar
tak turun air mataku. Apa arti mimpi tadi malam. Apa Bapak akan pergi?
***
Sepanjang jalan menuju Bandung. Aku
tutup telingaku rapat-rapat. Suara-suara berisik selalu menghantuiku. Entah
suara-suara itu selalu mengikuti. Banyak keraguan di hatiku saat beberapa
temanku mengatakan aku tak pantas mendoakan bapakku karena mempunyai perbedaan
keyakinan. Apa separah itukah sampai aku tak boleh mendoakan bapakku. Aku
jarang mendoakan bapakku, tapi kini saat bapak harus menderita sakit karena
kankernya, apa pantas aku tak mendoakan bapakku sendiri? Telingaku seperti mendengar suara teman-teman
yang nyaring berbicara padaku. Rasanya aku ingin menutup telinga ini dan suara-suara
itu hilang dari pendengaranku. Biarlah sekali ini saja aku ingin mendoakan bapakku.
Tak bolehkah? Bapak sakit, Bapak sudah menderita selama setahun ini. Bapak
selalu kesakitan. Tapi suara-suara itu
tak mau berhenti di telingaku. Kepalaku
mulai berdenyut kencang. Hanya mata kucoba pejamkan sejenak untuk mengurangi
rasa sakit. Aku mencoba tidur sejenak.
“Cicaheum... Bandung habis,” teriak
kondektur. Aku tersentak. Ah, sudah sampai di Bandung. Bergegas aku menuju rumah
sakit.
***
Aku memandang alat-alat yang menempel
di seluruh tubuh Bapak. Napasnya tinggal satu-satu. Mama duduk di sebelah
sambil terus berdoa. Aku sentuh bahu mama.
“Dara, maafkan Bapak.” Aku mengangguk
lemah. Aku melihat detak jantungnya 92. Tubuhnya kurus. Aku tak sanggup
menatapanya lebih lama. Kubuang mukaku. Sepi hanya terdengar suara detak–detak yang lirih terdengar. Suara azan ashar terdengar. Aku mencoba untuk
salat di mushola rumah sakit. Tampak ada beberapa pria salat di bagian depan
dan ada tiga wanita di baris belakang. Aku berdiri di sisi kiri dekat pintu
masuk mushola. Selesai salat Ashar, aku mulai berdoa. Aku tak mau lagi
mendengarkan omongan teman-temanku. Terus aku berdoa, terus. Dan aku mulai
bertanya, apakah aku boleh mendoakan bapakku sendiri walau aku berbeda
keyakinan dengan Bapak. Terus aku pertanyakan dalam dialog dengan Allah. Sampai
aku tak sadar, tubuhku gemetar karena aku ada di padang rumput yang luas. Aku
tengok ke kanan dan kekiri, tak ada satu pun orang di sana. Tiba-tiba aku
dikejutkan dengan sinar yang menyilaukan mata dari ujung padang rumput. Terang
sekali. Aku takut, aku begitu takut. Sinar itu memancar terang dan menyilaukan. Aku menutup mataku. Perlahan aku buka dan sinar itu melembut seperti mulai
menyapaku. Aku mulai tenang. Sinar itu menari-nari. Dan mulai meredup dan menghilang.
Entah mengapa hatiku damai sekali. Aku buka mataku, aku ada di mushola kembali.
“Ya, Allah. Kalau Engkau memanggil Bapak, aku ikhlas. Bapak sudah banyak menderita. Kalau belum, sembuhkanlah Bapak. Biarlah aku akan selalu mendoakan Bapak dalam setiap sujud doaku. Engkau
telah memberikan tanda-tanda itu bagiku. Itu sudah cukup untukku. Terimakasih
Allah.” Aku bersujud begitu lama, aku menangis dalam doa yang panjang untuk bapakku.
Saat aku kembali ke kamar Bapak, saat aku sentuh tangannya, dan aku pandangi
wajahnya.
“Pak, maafkan aku. Kalau kau mau
pergi, pergilah. Aku akan selalu mendoakanmu dan akan aku jaga Mama selalu.” Aku menatap wajahnya. Begitu tenang tak ada lagi rasa sakit yang tampak dari
wajahnya.
“Alhamdulilah,” seruku dalam hati.
Tiba-tiba denyut jantungnya mulai turun cepat dan menuju angka nol. Perawat
mulai berdatangan untuk melakukan pertolongan. Aku menggelengkan kepalaku pada
mereka. Perawat-perawat itu terdiam. Bapak pulang dengan tenang.
“Innalillahi wa inna rojiun.” Bulir
air mataku satu persatu turun. Ah, alangkah cepatnya Bapak pergi. Maafkan aku,
belum bisa membahagiakan dirimu.
***
Kejadian tentang cahaya yang datang
aku ceritakan pada teman-temanku. Mereka tidak percaya. Mereka katakan aku
berhalusinasi karena ingin mendoakan
bapakku. Ada rasa perih di hatiku mendengar omongan mereka. Tapi aku percaya pengalaman
religi yang aku alami, itu bukan halusinasi. Itu nyata. Aku mengalaminya
sendiri. Aku tak peduli lagi dengan omongan orang-orang. Aku berhak mendoakan
bapakku. Bapak sudah berjasa untuk hidupku.
Allah meyakinkanku lewat pengalaman spiritual yang aku alami. Ini hidupku.
Untuk yang tak percaya, aku juga tak peduli. Biarlah Bapak tenang di sana. Dan beberapa
kali Bapak selalu datang padaku, seperti memberikan semangat baru untukku. Juga
saat aku harus operasi, Bapak muncul dan mengatakan kalau aku akan
baik-baik saja. Ah, Bapak, aku merindukanmu. Selamat jalan bapakku.
Semoga kita akan bertemu lagi suatu saat.
*Diedit seperlunya
*Sumber tulisan dari http://fiksitira.blogspot.com/2015/07/cahaya-ilahi.html
*Sumber gambar dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1LSaMo32vsyKzDVDM3_7uLMjHIjw-rnjElL39WHzhl9mkwNQ9IwdzwAghXrbcslGvxVjcIJmNEH1IxWkbW1vRNaPeTRr0rCZ4nrBSAK_xG4WiIN8phMIbAThb_UiRLWH2kSM750v-cXk/s1600/cahaya.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar