Pria Penyeduh Teh dan Gadis Bernama Sere
Karya: Dyah Prameswarie
Teh |
Namanya
Sere. Rambutnya bergelombang dan menyentuh bahu. Warnanya serupa air rebusan
teh Earl Grey, pekat tapi memikat. Ia datang dengan liukan gelombang cokelat
suatu pagi. Dengan kaus putih kedodoran, ripped
jeans dan jaket lusuh hijau Army.
“Seduhkan
aku espresso terbaikmu,” pintanya tanpa basa basi.
Aku
menggeleng. “Ini kedai teh, Nona, bukan kedai kopi.”
Ia
urung menyalakan rokok. Kepalanya menengadah dan memindai kedai tehku.
Terbahak, ia menyadari ketololannya, “Oh, Ya Tuhan, maafkan aku. Baiklah, teh
apa yang kau punya?”
“Banyak.
Kami punya teh hitam dari Pangalengan, Earl grey dari Inggris atau teh oolong.
Kau mau yang mana, Nona?”
Dia
mengerjapkan mata. “Aku belum pernah minum teh sebelumnya. Hidupku terdiri dari
kopi dan buih bir. Anggur merah sesekali,” ujarnya angkat bahu.
“Mau
kupilihkan untukmu?” aku mencoba berbaik hati.
“Tentu,
pilihkan teh untukku. Dan jangan memanggilku nona, namaku Sere.” Dia
mengulurkan tangan, menjepit rokok dengan kedua bibirnya yang penuh dan
berwarna merah.
Aku
menerima uluran tangannya, menyentuh kulitnya yang halus dan beraroma cokelat
hangat. “Namaku Chai.”
“Nama
yang aneh,” gumamnya saat aku mulai menyeduh teh untuknya. Teh hitam dengan
rendaman kuncup melati yang dikeringkan. Diseduh dengan air mendidih dengan
suhu yang tepat, karena jika terlalu panas, daun-daun teh akan cepat layu
sebelum mengeluarkan aroma dan warna indahnya. Kuncup melati akan merekah tepat
ketika sang gadis menuang teh dari teko ke cangkir. Wangi melati untuk melebur
keburaman pikiran, agar tak ada lagi sakit di kepala gadis bernama Sere.
Sere
menjentikkan jemari dan abu rokok menghantam dasar asbak yang berkilat. Ia
hanya melirik teko keramik putih yang kuhidangkan. Membuatku sedikit resah. Tak
ada pelanggan yang seperti ini sebelumnya. Biasanya pelangganku akan langsung
menyambut teko teh, mengendus aroma yang keluar dari belalai teko dengan wajah
tak sabar.
Dengan rasa kecewa, aku mulai mendatangi
pelanggan lain. Menyapa mereka, memberi saran teh apa yang cocok untuk mereka
hari ini. Setiap orang membutuhkan seduhan teh yang berbeda dari hari ke hari.
Peraman teh dengan cengkih untuk kekasih yang akan menemui calon mertua, agar
napasnya harum dan menenangkan. Daun mint segar dengan teh hijau untuk manajer
bank yang dililit angka dari hari ke hari. Atau teh hitam dengan gula batu,
sekadar untuk menikmati hari.
Sampai
aku kembali ke hadapannya, Sere belum juga menyentuh tekonya. Resahku memuncak.
Alih-alih menunggu, aku menegurnya.
“Tehmu
akan dingin,” kataku.
Ia menatapku lalu
melirik tekonya, tampak kebingungan. “Bukan teh celup ya?”
Aku
tersenyum untuk mencemooh ketololannya yang lain. Teh celup? Dengan kantung
terbuat dari kertas berisi bahan kimia di dalamnya? Itu jelas bukan tradisi di
kedaiku.
“Kedai
Chai tak pernah menyuguhkan teh celup, Nona,” jawabku masam.
“Berhenti
memanggilku nona!” sergahnya. “Baiklah, bagaimana aku harus menikmati tehku?”
Aku
menghela napas dan memandanginya sejenak. Wajahnya cantik, bagai kabut pagi
yang menghalau mimpi buruk di malam hari. Alisnya tebal, mengingatkanku pada
hutan pinus yang berderet-deret rapi. Matanya...aku begidik ketika menatap mata
hitamnya yang kelam. Ada kesedihan yang tak bisa kugambarkan. Ada kengerian
yang mulai merangkak keluar.
Aku
meraih teko,” Begini,” aku mulai menuang teh untuknya. Dalam cangkir putih dan
sendok kecil. Aroma melati meluncur bersama cairan berwarna amber yang
berkilau.
“Kau
mau gula?” aku menyodorkan cangkir ke hadapannya.
Sere
menggeleng, “Aku mau bibirmu. Kelihatan manis dilihat dari sini, Chai.”
Aku
mengerjapkan mata terkejut. Gadis ini sungguh berani. Menelusup dan menghentak
secara bersamaan. Tanganku meremas ujung apron. Dadaku berdesir.
Sere
tertawa lagi sambil melirikku. “Santai, Bung. Aku tak akan melahap bibir di
sini.”
“Namaku
Chai. Dan jangan panggil aku, Bung,” bisikku. Sere kembali tertawa.
***
Tak
ada yang bisa menghalau matahari. Tidak juga Tuhan. Ia berkeras dengan teriknya
siang ini. Tak banyak pelanggan yang datang. Kedaiku terasa kering dan
menjemukan. Baling-baling kipas angin berderu seru di atas kepala. Dua
asistenku duduk sambil menahan kantuk. Serangan panas di bulan Juli telah
datang.
Aku
baru saja hendak memejamkan mata barang sebentar saat Sere menerobos toko
dengan kaus singlet hitam yang lagi-lagi kedodoran. Ia mengenakan celana ketat
hitam dan sneakers putih. Rambutnya
digelung asal dan membuat tengkuk indahnya terpajan jelas. Aku sedikit
menggelinjang saat melihatnya.
“Kau
punya es teh manis, Chai? Dengan banyak es batu dan gula,” tanyanya yang
terdengar seperti rintihan.
Aku
tersenyum, “Aku pikir kau tak suka gula.”
“Mereka
manis seperti bibirmu, Chai,” godanya.
Sialan.
Ini sudah ketiga kalinya dia datang ke kedaiku dalam seminggu ini dan tak
pernah berhenti menggodaku. Sekarang aku jadi bertanya-tanya apa dia akan
berhenti jika sudah melumat bibirku.
Aku
menyaring daun-daun teh dari stoples yang baru kukeluarkan dari lemari es. Teh
yang telah kuperam semalaman dengan teknik cold
brew, menyeduh teh dengan air dingin. Tak perlu es batu seperti yang
dipintanya, tapi kutambahkan gula yang dicairkan dengan serai yang telah
dimemarkan. Es teh dingin dengan gula serai untuk membantu Sere melupakan
bibirku.
Sere
melirik gelas tehnya. “Dengan serai, Chai? Serius?”
“Sesuai
namamu,” kerlingku.
Dia tertawa,
berderai-derai seperti hujan di musim panas. “Kau nakal, Chai!”
“Manis,”
ujarnya pendek di sela-sela menyesap tehnya. Kuanggap itu pujian setelah selama
ini tanpa komentar akan racikan tanganku.
Aku
bersandar pada meja konter, “Apa semanis bibirku?”
“Mana
kutahu,” jawabnya angkat bahu, “Kau belum mengijinkanku menyiumnya.”
Dua
asistenku terkikik riang. Aku melotot pada mereka dan keduanya langsung
terdiam. Tanpa menunggu diperintah, mereka hengkang dari kedai. Entah ke mana.
“Kenapa
kau menyukai teh, Chai?”
“Kami
terlahir kembar.”
Ia
tertawa, “Jangan konyol, Chai.”
Tapi
itu memang benar. Aku lahir tepat ketika ayahku yang berdarah Tionghoa
menemukan racikan teh yang menurutnya paling tepat. Itu sebabnya namaku Chai,
teh. Hari-hariku dipenuhi teh. Teh di pagi hari saat gigi-gigi masih
bermentega, berkejaran dengan mentari untuk memetik pucuk daun teh terbaik,
mengemas daun teh yang telah dikeringkan dan bersama dengan Papi menyeduh teh
menjelang senja.
Aku
hampir mengelilingi seluruh dunia untuk mencicipi teh dengan teknik dan rasa
yang berbeda. Teh hangat penuh rempah yang kuminum di India, yang harum
cengkihnya mengingatkanku akan tembakau basah. Teh hijau di Cina yang
dituangkan oleh gadis berdada rata. Atau earl
grey tea yang diseduh oleh wanita bangsawan yang haus berlian.
Aku dan teh tak dapat
dipisahkan. Kedaiku dibuka tepat setahun setelah kepulanganku dari London.
Kedai mungil di salah satu sudut jalan Braga yang ramai oleh deru kendaraan dan
asap menyesakkan. Yang mulai dikenal oleh orang-orang yang
mencari kenikmatan lain di antara belantara pekat kopi. Kedai yang
mempertemukanku dengan banyak orang, terutama dengan gadis berangan Sere yang
menggodaku tak habis-habis.
“Jadi
Chai, apa kau punya kekasih?”
Aku
mengernyit. “Apa pedulimu?”
Dia
tertawa. Entah kenapa, dia senang sekali terbahak. Memamerkan giginya yang
berkilat, meniupkan aroma wangi yang tak dapat kugenggam. Ia membawa keriaan di
antara debu dan terik mentari.
“Kalau
aku mencium bibirmu, apa pacarmu tidak akan marah, Chai?” Ia mengerling padaku.
Aku tersipu malu seakan baru kemarin aku mengenal gadis dan cinta. Ini
memalukan.
Aku
merapatkan tubuh pada meja konter dan melongokan kepala tepat di wajahnya.
Wajah kami saling berdekatan, napasnya mengelus pipiku hangat. Aku bisa
merasakan napasku memburu.
“Kenapa
tidak kita coba saja?” tantangku.
Ia
tersenyum dan mulai menyentuh bibirku dengan jemari yang berhias kuku semerah
bubuk cabai. “Kau...,” desahnya. Lalu bibirnya datang sesudah itu. hangat,
manis tapi menyimpan kengerian.
***
“Chai menyuruh kami
pergi sesudah gadis itu datang,” ungkap asistenku, seorang pemuda bertubuh
ceking.
Lelaki
yang mengajaknya bicara mengernyit, “Kalian meninggalkannya seorang diri?”
Asistenku
yang lain menggeleng. Yang ini tubuhnya gempal dan cekatan, “Kami
meninggalkannya bersama gadis itu.”
“Siapa
namanya?”
“Sere,”
jawab si ceking.
Si
gempal menyahut, “Ketika kami kembali, kedai sudah dalam keadaan tertutup. Kami
menggedor dan memanggil nama Chai, tapi dia tidak menyahut. Kami lalu
mencongkel pintu dan masuk.”
Seorang
lelaki berjaket kulit hitam menghampiri. Ia berbicara pada rekannya dan
menyuruh kedua asistenku pergi.
Lelaki
berjaket kulit melirik arloji, “Pukul berapa kira-kira?”
Temannya
menjawab, “Pukul tiga sore lewat lima belas menit.”
Aku
menatap arlojiku yang mati. “Benarkah?” tanyaku pada Sere.
“Benar,
15.15. Waktu kematianmu,” balas Sere menyeringai.
Aku
menatap muram tubuhku yang terbujur kaku. Siapa sangka maut bisa secantik gadis
bernama Sere.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar